Lembar kehidupan

matahari menggeliat dan terjaga dari tidurnya
warna merah jingga menghias angkasa
aku pun tafakur dalam sujud
memohon ridlo-NYA melangkahkan kaki
menapaki tanah terjal bebatuan
luaslapangnya padang pasir
luasdalamnya lautan biru
dan tinggi tak berbatasnya angkasa raya
yang terlintas dibuku – buku pelajaran

lembar demi lembar
kuejabaca kata demi kata rangkaian kalimat
di lembaran tanah terjal bebatuanmu
kutemu pepohonan, tanah merah yang menyatu dikesuburanmu
di lembaran luaslapangnya padang pasir
kutemu jutaan butiran pasir membara
di lembaran luasdalamnya lautan birumu
kutemu air, ikan dan pepohon laut
di lembaran tinggi tak berbatasnya angkasa rayamu
kutemu angin, mendung, matahari, bulan, bintang
dan burung burung beterbangan

membuka lembaran demi lembaran
kehidupan banyak rintangperintang membolamata
menghadang
aku terus melaju
membuka lembaran buku – buku  pelajaran
hingga habis kutelanbaca
karena aku ingin sampai di garis cakrawala

semarang, 120405

Menatap merah putih

Menatap merah putih
melambai dan menari – nari di angkasa

kibarannya telah banyak menelan korban
nyawa dan harta benda

berkibarnya  merah putih
yang menjulang tinggi di angkasa

selalu teriring senandung lagu Indonesia Raya
dan tetesan air mata
dulu, ketika masa perjuangan pergerakan kemerdekaan
untuk mengibarkan merah putih
harus diawali dengan pertumpahan darah
pejuang yang tak pernah merasa lelah
untuk berteriak : M e r d e k a

menatap
merah putih adalah perlawanan melawan angkara murka
membinasakan penidas dari negeri tercinta
indonesia

menatap
merah putih adalah bergolaknya darah
demi membela kebenaran dan azasi manusia
menumpas segala penjajahan
di atas bumi pertiwi

menatap
merah putih adalah kebebasan
yang musti dijaga dan dibela
kibarannya di angkasa raya

berkibarlah terus merah putihku
dalam kemenangan dan kedamaian

semarang, 120405

Suatu saat kita susun cerita bersama
: bapak Soekiswanto

Tanpa terasa empat kalender terlampaui
disaat semilir angin merekaterat

uliran tali dan persenyawaan
dua warna yang berbeda

matahari pun perlahan terus melangkah
kembali ke peraduaanya

esok
hari dan tanggal pun tenggelamkan
empat puluh delapan purnama
batas garis  birokrasi
kau lenyap samarkan
bulan pun ringan melenggang
mengutuhbulatkan lingkarannya dari gerhana

esok

hari dan tanggal pun bertambah
tanpa terasa empat kalender
telah habis tertelanbaca

diawalnya  pertemuan
perpisahan pun mengakhiri cerita
sesungguhnya rentang waktu
yang terlewatkan terlalu belia
tapi ini bukanlah akhir dari cerita kita
dalam menelusur jalan matahari
karena masih banyak cerita
yang musti kita susun bersama

tanpa terasa empat kalender
telah kita lalui bersama
diakhir cerita ini
tak ada kata lain
kecuali maaf
dan biarkan matahari terus melangkah
kembali keperaduannya
karena esok
masih banyak yang harus kita perjuangkan
meski ditempat yang berbeda
dan suatu saat kita akan menyusun cerita bersama

semarang 24072007

Cerita menjelang malam
: almarhum muhadi

Menjelang malam
dijalanan beraspal kau terobos semilirnya  angin
wajahmu  pucatpasi tanpa sinar matahari
gerimis menabuh kesunyian
dedaunan pun berguguran
berserakan dibahu jalan raya

sesungguhnya kau ingin berbagi cerita
pada anak istrimu yang terluka
pada orang orang yang mengelilingimu
di pembaringan
dengan mata sayu dan mulut kaku
engkau tetap diam dalam kebekuan
kecuali tak lebih untuk berontak
membelah langit  sap tujuh
yang berselimut kabut
dan mendung

di antara rasa sakit yang terus deraan tubuhmu
hujanpun berteriak keras
menenggelamkan gerimismu
yang menghilang dibalik malam
mencekam

esok
ketika matahari hampir di atas kepala
kau ternyata sudah jauh meninggalkan kita semua
kau pun tersenyum sembari melambaikan tangan
dan menghilang dibalik megamega.

Semarang, 2008

Wanita paro baya
: menangisnya ibu pertiwi

Masuk tengah malam disepanjang jalan siliwangi
sunyi dan sepi bergelayutan di ranting ranting cemara
angin pun lirih tak bersuara
wanita paro baya yang berdiri digerbang
makam belanda : Kerkof
mengigil kedinginan
ia menerawang jauh keselatan
membelah sebuah gang
jalanan paving bergelombang

”di situkah anak-anakku?” bisiknya

masuk tengah malam
dikejauhan yang samar
di bawah gemerlapnya lampu jalanan
beterbangan puluhan bahkan ratusan
kupu-kupu yang corak dan warna sayapnya
: berbeda

mereka asyikmasuk dalam pestapora
wanita paro baya yang mulai rabun
membelalakkan mata memperuncing  pengelihatan
dengan serak dan lantang berteriak :

“yang mana anak-anakku ?”

masuk tengah malam
semilir angin memerasremas dingin
wanita paro baya itu  menangis tanpa airmata
meratapi anak anaknya yang dulu menghisaphabis air susunya
hilang diperkebunan jalang

sebelum sempat menjerit
wanita paro baya itu terhempas
angin kencang, laju sebuah bus malam
ia pun hilang entah kemana
: mukso

Semarang, 29 pebruari 2009

Sajak  di balik pertemuan

Merenda kata diperbatasan
tak pernah tersempurnakan

kerna bulan selalu menghilang
dari atas kepala menyusup dikelopak mata
membutagelapkan  pertemuan
dan, kata demi kata pun tak pernah tuntas
: mengkalimat

di garis ini,
garis dimana kau dan aku
pernah melukis wajah tanpa warna
dan melepas anak panah ke jantung risau
kita pun diam
: membisu dan membalik arah
membiarkan angin berpusar menyapu
lepas simpul wajah kita
dan perbatasan yang belum kita tandai
jadi asing  untuk kita senggamai

dan akhirnya
merenda kata diperbatasan
tak pernah melahirkan mimpimimpi
: indah
kecuali : “ tanya “

semarang,  18 maret  2009

BIODATA : SOEKAMTO

Lahir di Semarang 44 tahun yang lalu (3 Nopember 1965). Mulai aktif menulis sejak tamat SMP, begitu bersahabatan dengan Handry TM dan Agus Maladi Irianto semangat kepenulisannya semakin terpacu. Masa kepengurusan Keluarga Penulis Semarang (KPS) dipimpin Handry TM tahun 90-an, ia aktif memegang devisi panggung sastra yang secara rutin mengadakan kegiatan bulanan di TBRS.

Karya–karyanya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka, Wawasan, Kartika (alm), Bahari dll, puisinya juga mewarnai beberapa antologi puisi penyair Jawa Tengah (1991), Antologi Puisi Semarang “Lawang Sewu” (1995), Antologi Puisi Penyair Semarang dalam acara Festival Semarang (1996), Kumpulan puisi penyair Jawa Tengah (Jentera Terkasa) dalam rangka “Pasar Puisi “ Taman Budaya Jawa Tengah (1998). “ Langit Semarang” diterbitkan Taman Budaya Jawa Tengah bersama lima penyair Semarang, diantara Timur Sinar Suprabana, Handry TM dan Beno Siang Pamungkas (2008) dan membukukan sajak – sajaknya dalam Kumpulan Sajak “Bulan Pecah” (2008).

Bapak dua anak (Fia dan Azel) yang lahir dari istrinya Retno Dewi S. ini sekarang menjabat sebagai Sekretaris Umum Dewan Kesenian Semarang (dekase) periode 2008-2012.

PNS yang juga alumnus FH. UNTAG 1945 ini bekerja di Dinas Kependudukan  dan Pencatatan Sipil Kota Semarang.